Allah Maha Kaya part 1

Kau percaya bahwa Allah Yang Maha Kaya juga Maha Pemberi Rizki?

Ini kisahku tentang Asa. Asa hidup dari keluarga yang cukup sederhana. Ya, cukup sederhana. Ayahnya yang bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan yang tak menentu, dan ibunya yang tidak bekerja secara formal namun juga ikut mencari uang dengan membuat kue dan menjualnya. Memiliki orangtua yang cerdas dan berpendidikan. Sehingga pendidikan dijadikan prioritas dalam anggaran pengeluaran keluarganya. Asa dan adik-adiknya yang satu persatu lahir menyusulnya hingga saat ini berjumlah delapan bersaudara, tumbuh dengan pemahaman bahwa uang bukanlah segalanya dan kebahagiaan bukanlah ditentukan dari seberapa banyak uang yang dimiliki.

Hingga Asa berumur dua puluh tahun, berpindah rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya dalam kurun beberapa tahun sekali adalah hal yang wajar. Pernah seorang temannya sejak SMP berkomentar “Kok rumahmu pindah terus sih, Sa?” Waktu itu Asa cuma diam dan tersenyum. ALLAH sungguh Maha Baik pada keluarganya. Sejak dua tahun terakhir akhirnya keluarganya memiliki rumah tetap yang cukup besar untuk ditempati keluarganya dan berada di tempat yang cukup strategis dan memudahkan kemana-mana. Hal yang tak pernah Asa bayangkan sebelumnya. Sungguh, ALLAH Maha Pemberi Rizki.

Sekali lagi, memiliki orangtua yang memprioritaskan pendidikan, membuat mereka memasukannya ke sekolah dasar islam terpadu yang notabene berisi orang-orang kaya dengan biaya yang sama sekali tidak murah. Secara matematis, penghasilan ayah sebenarnya sama sekali tidak logis untuk bisa tetap survive di tempat itu. Hampir tiap menjelang ujian semester, Asa harus menghadap ruang tata usaha karena kartu ujian yang tertahan akibat menunggak bayaran berbulan-bulan. Setiap tahun ajaran baru, Asa harus tutup telinga mendengar teman-temannya sibuk memamerkan alat-alat tulis sekolah barunya yang berwarna-warni dan beraneka ragam. Ataupun tidak cuma Asa yang harus bersabar, namun juga gurunya dan teman dekatnya. Karena buku pelajaran yang terkadang telat dimilikinya, membuat Asa harus ikut melihat buku temannya saat tugas ataupun pelajaran berlangsung, dan mengerjakan tugas di buku tulis. Hingga tak jarang beberapa temannya terganggu dan enggan duduk di sebelahnya. 

Uang jajannya yang tak sebanyak teman-temannya membuat Asa harus berfikir keras untuk menentukan satu jenis makanan apa yang bisa dibelinya. Saat teman-temannya diantar jemput menggunakan mobil, Asa cukup dibonceng Ibu dengan sepedanya saat pagi, dan berjalan kaki pulang sekolah dengan jarak cukup dekat, sekitar 1,5 km. Sejak SD,  Asa terbiasa jualan untuk mendapat tambahan uang saku. Dari mulai permen, sticker,  kue, gorengan, hingga buku. Walaupun dengan hasil yang tidak seberapa, bangga rasanya bisa menghasikan uang sendiri.

Dengan jurang perbedaan social yang begitu besar, membuat Asa  tak mudah untuk mendapatkan teman. Apalagi ditambah aturan di rumahnya tentang televisi dan hiburan lainnya yang sangat dibatasi, membuat banyak temannya menganggapnya kuper dan nggak asyik untuk dijadikan teman. Teman-teman laki-lakinya pun sering mengejek fisiknya karena kulitnya yang hitam, dan membuatnya setengah mati membenci makhluk bernama laki-laki.

Lalu, apakah kemudian Asa merasa sangat tidak bahagia bersekolah di tempat itu?

Ah, sebenarnya yang Asa ingat tentang masa sekolahnya adalah hari-hari kebahagiaan. Asa justru baru menyadari perbedaan-perbedaan yang dimilikinya ketika dia beranjak dewasa. Asa tak pernah lupa dengan sahabatnya yang sering mentraktirnya dan tulus menyayanginya, kegiatan-kegiatan sekolahnya yang membuat kreativitasnya tumbuh dan berkembang, guru-guru yang menyenangkan dan membuatnya mencintai ilmu dan mencintai proses pembelajaran. 

Ya, Asa tumbuh dengan pemahaman bahwa masa kecilnya sangat menyenangkan. Perpustakaan yang lengkap dengan buku-buku cerita menarik yang membuatnya tak bosan menghabiskan jam istirahatnya di tempat tersebut. Kegiatan pramuka, outbond, outing class, dan berbagai event lainnya yang cukup padat. Pembentukan nilai dan karakter yang membuatnya semakin yakin dengan mimpi dan tujuan hidupnya. Dan Alhamdulillah, Maha Adilnya ALLAH, Asa tak pernah lewat dari peringkat empat besar selama masa sekolahnya, dan menjadi salah satu murid terbaik dengan nilai matematikanya dan dipanggil maju ke depan saat wisuda. Ah, setidaknya Ayah Ibu tak sia-sia memasukannya ke tempat ini.


Masuk SMP Negeri dengan kondisi ekonomi yang semakin heterogen membuat Asa sungguh bersyukur dibandingkan teman-temannya yang lain yang jauh lebih menyedihkan. Ada temannya yang untuk ongkos sekolah pun tidak punya, hingga harus jalan kaki ke sekolah. Ada yang tidak bisa membayar uang buku sehingga seringkali harus dipanggil guru. Ada yang harus memakai baju kakak kelas yang kebesaran karena tak mampu membeli seragam sekolah. Ah, rupa-rupa pokoknya. Membuat Asa semakin bersyukur dan terus bersyukur.

Komentar

Postingan Populer