Annoying Questions

What is the most annoying question that ever you get in your life?

Dalam hidup, terkadang banyak sekali pertanyaan-pertanyaan orang lain yang ikut campur dalam hidup kita. Aku orang yang cuek, nggak suka ngurusin hidup orang lain, dan paling nggak suka dengan orang yang ikut campur dalam hidupku. Maksudku dalam menjalani pilihan hidup yang mereka pilih. Ya, pada dasarnya manusia punya diberi akal untuk memilih hidup yang mereka miliki bukan? Agak liberal sih pemikiranku. Karena kita punya kewajiban untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Namun, aku jarang ngingetin atau nasihatin orang lain, meskipun aku tahu dia salah, karena terkadang aku takut untuk kaburo maqtan.

Back to the topic. Well, meskipun cuek setengah mati, aku tetap saja tak bisa mengelak dari berbagai pertanyaan-pertanyaan orang lain.

Semester 8, pertanyaan yang paling menyebalkan adalah "skripsinya apa kabar? Sudah sampai mana?". Aku bete setengah mati kalo udah ditanya kayak gitu. Dan biasanya nggak pernah kujawab. Waktu itu sebenarnya aku bisa saja menyelesaikan kuliah 3,5 tahun. Tapi, beasiswaku menyediakan hingga 4 tahun, dan aku sayang kalau harus melepasnya. Dan aku juga belum siap untuk melepas titelku sebagai mahasiswa. Dan terutama, aku nggak suka ngerjain skripsi. Nggak suka dengan berbagai aturan penulisannya dan harus mengejar dosenku yang sibuk. Ya, aku sempat menganggurkan skripsi selama hampir tiga bulan. Teman-temanku sudah melesat jauh dengan bab 1, 2, dan 3, aku masih berkutat dengan judul dan latar belakang.
Aku sempat ingin meninggalkan skripsi sama sekali. Aku selalu percaya kalau hidupku nggak ditentukan dari selembar kertas bernama ijazah.

Tapi, masalahnya aku hidup bukan tentang diriku. Ibuku tak menyetujui sikapku. Ibuku mengingatkan beasiswa yang telah kuperoleh, tentang amanah yang harus kutunaikan. Oke, mau tidak mau, suka tidak suka aku harus melewati fase ini.

Sejujurnya aku sempet putus asa apa aku bisa lulus tepat waktu. Aku sudah ketinggalan jauh dari teman-temanku. Kemudian aku mulai ngebut mengerjakan skripsi. Memberanikan diri untuk menyerahkan pada dosen pembimbing untuk dikoreksi, walaupun aku tahu betul skripsiku kacau dari segi penulisan dan isinya pun terlalu biasa. Hampir tiap saat aku selalu berdoa minta pertolonganNya. Aku nggak berharap muluk. Tak perlu nilai A atau apa pun itu. Aku cuma ingin lulus tepat waktu. Allah Maha Baik sama aku. Meski ada dosen yang mengancam tak meluluskanku, tapi pada akhirnya aku berhasil lulus walaupun dengan nilai B. Banyak yang nggak percaya aku bisa lulus tepat waktu. Dengan sisa waktu tiga bulan yang kumiliki untuk menyelesaikan bab 2-bab 5. Bahkan aku sendiri juga nggak percaya. Dan itu semakin meyakinkanku betapa Allah Maha Kuasa.

Lulus kuliah, pertanyaan lain muncul. Kerja dimana?  Mau apply di perusahaan apa? Ikut tes cpns nggak? Aku nggak punya intensi buat kerja di kantoran. Membayangkan harus menghabiskan waktu berjam-jam di sana saja, ditambah perjalanan yang mungkin menghabiskan waktu juga, membuatku sudah malas duluan mengambilnya. Aku juga punya mimpi untuk fokus menghafal Quran pasca kuliah. Sudah cukuplah petualanganku mengejar mimpi dunia. Aku harus menyiapkan bekal akhiratku. Aku harus bekerja yang membuatku tetap bisa membangun mimpi akhiratku. Aku ingin tetap bisa berdakwah dan membina.
But, aku punya tanggungan dan nggak mungkin aku menganggur. Jadi aku melamar di nf sebagai guru part time, dan Alhamdulillah diterima. Kemudian aku resign dan memutuskan fokus di IQF, yang tak pernah berhenti kusyukuri karena menjadi bagian darinya. Meskipun pada akhirnya aku harus berpisah dengan IQF saat ini.

Pertanyaan ketiga adalah, "hafalannya sudah berapa juz?"
Yap. Ketika aku memperkenalkan tentang IQF kepada orang lain, juga mempromosikan buku, pasti pertanyaan itu yang menyertai.
"Wah penghafal Quran ya. Pasti hafalannya sudah banyak. Sudah berapa juz?"

Kalau ditanya kayak gitu serasa mau menghilang. Jadi ngerti dan agak merasa bersalah ketika aku sering menanyakan hal itu pada adik-adikku yang di pesantren. Juga pada kebanyakan temanku yang juga penghafal Quran. Seakan-akan jumlah hafalan adalah sesuatu yang menunjukkan tingkat keimanan seseorang. Padahal semua ayat yang dihafal kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapanNya.

Orang jadi berekspektasi ketinggian tentang diriku. Kacau banget. Aku inget doanya Abu Bakr ketika orang lain memujinya, memohon dijadikan lebih baik dari pandangan orang lain tentang dirinya.

Pertanyaan keempat adalah "kapan nikah?"
Daaan pertanyaan itu yang akhir-akhir ini kutemui. Aku pernah janji dulu sama diriku nggak bakal galau masalah ini. Yap, dulu aku tinggal di kosan dengan senior-senior yang jauh lebih tua dariku. Dan kebanyakan mereka selalu saja mengobrol dan galau membicarakan masalah itu. Well, aku sombong banget waktu itu. Kenapa harus galau, Allah pasti kn akn memberi yang terbaik di saat yg tepat. Terus kacaunya lagi aku pernah berfikir kalo aku nanti nggak nikah juga nggak apa2. Aku mandiri dan merasa nggak butuh laki-laki. Aku ngeri duluan kalo ada orang lain yang masuk ke dalam hidupku dan mengatur-ngaturnya. Dan kalau aku dapet rizki laki-laki sholeh,  kalau nggak? Duh, mendingan aku nggak usah nikah sekalian.
Aku nggak mau hidupku kacau gara-gara laki-laki. Aku punya tanggungan banyak. Hidupku sudah cukup rumit tanpa harus kutambah masalah baru. Aku juga lebih logis dalam mengatur perasaanku kepada lawan jenis. Aku cuma sesekali kagum dengan beberapa orang, dan kemudian bisa melupakannya jika pada akhirnya mereka sudah menikah atau tak mungkin untuk kumiliki.
Haha. Tetep saja. Kebanyakan sahabatku sudah dan akan menikah. Hampir semua membicarakan topik ini jika sudah berkumpul. Mau menghindar gimana coba? Aku galau juga ternyata.

Aku jadi capek sendiri kadang. Terus aku jadi mikir. Aku masih berumur segini aja, orang-orang udah repot nanyain masalah kayak gini. Bagaimana dengan mereka yaa, yg jauh berumur di atasku dan belum menikah juga. Jangankan orang lain. Pasti diri mereka sendiri bertanya-tanya tentang hal itu.

Kenapa yaa, kok orang seneng banget khawatir masalah-masalah itu? Suka banget nanya yang bikin orang down duluan?

Pertanyaan tentang hidup. Seolah khawatir dengan kondisi hidup kita di dunia.

Kita lupa mengkhawatirkan yang jauh lebih pasti.

Harusnya semua tanya itu diganti.

"Kapan mati ya,?"
"Sudah punya bekal apa buat menghadapi kematian?"
"Sudah berbuat dan berkontribusi apa untuk Islam dan dunia?"
"Sudah memberi kebermanfaatan apa dalam hidup?"

Pertanyaan yang membuat kita produktif dan meyakini bahwa Allah sungguh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Well, akan selalu ada pertanyaan-pertanyaan yang akan bermunculan selama kita hidup. Terkadang bahkan pertanyaan itu muncul dari dalam diri kita sendiri.

Bagaimana pun, pada akhirnya semuanya menyangkut tentang keimanan itu sendiri. Mempercayai tentang ketentuan yang Allah tetapkan jauh sebelum keberadaan kita. Tugas kita hanyalah berusaha sebaik-baiknya, bertaqwa kepadaNya, berusaha semampu kita, dan selalu percaya, whatever happen in our life, just believe that Allah gives the best. Semangaaaat!

Komentar

Postingan Populer