Sahabat Untuk Selamanya

“Kita sahabat. Untuk selamanya…” Itu katamu dulu. Tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Aku takkan pernah lupa, saat itu kau berkata dengan sungguh-sungguh. Wajahmu yang biasa memasang tampang lucu dan selalu siap tertawa tampak lain dari biasanya. Kau begitu serius saat mengucapkan hal itu. Waktu itu, aku hanya mengangguk, ikut memasang wajah serius.  Saat itu, kita masih duduk di kelas 6 SD. Berada dipertengahan kanak-kanak dan remaja, kita bersama-sama menapaki hari yang semakin berubah bertambah aneh.

Kau ingat, awal mula persahabatan kita? Kita memang sudah sekelas sejak kelas 3 dan kelas 5 SD. Namun, justru kita mulai bersahabat ketika semuanya akan berakhir, ya justru kita mulai bersahabat ketika duduk di kelas 6 SD. Awal mengenalmu, aku sempat mengagumimu. Kau cerdas, itu kaubuktikkan dengan predikat juara kelas yang selalu kau peroleh, kau supel, , dan kau selalu ceria. Aku sempat iri dengan keberadaanmu. Waktu itu, menurutku kehidupanmu sempurna. Temanmu banyak, otakmu cerdas, wajahmu manis, dan kau tak pernah kekurangan.

Berbanding terbalik denganku. Si anak baru yang canggung, kuper, dan belajar sekeras apa pun aku tak pernah bisa mengalahkanmu. Duniamu begitu jauh dengan duniaku. Teman-temanmu sejenis denganmu, borju dan penuh keceriaan.

Saat kelas 3 SD, kita sekelas. Itulah pertama kali aku mengenalmu lebih dalam. Takkan pernah kulupakan pertengkaran pertama kita. Waktu itu, kita rebutan tempat duduk. Hha.. sepele sekali bukan? Waktu itu, aku merasa tempat itu hakku. Aku lebih dahulu mendapatkannya, namun kamu  menganggap itu tempatmu juga, karena kamu sudah memesannya. Aku, sama sekali tak mau mengalah. Ya, itulah aku yang keras kepala. Akhirnya aku yang mendapatkan kursi itu. Kau menyerahkannya dengan terpaksa padaku. Waktu itu, aku merasa menang dan puas sekali. Namun, aku tak pernah menduga akan efek yang ditimbulkannya.

Kau memusuhiku. Dan dengan pengaruh yang kau punya, kau menyuruh semua anak untuk turut memusuhiku. Tahukah kau, betapa menakutkan masa itu  untukku? Saat tak seorang pun yang mau menyapaku. Saat tak ada seorang pun yang menganggap keberadaanku, bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanku. Dan itu berlangsung selama dua minggu. Sejujurnya hal itu sempat menimbulkan trauma tersendiri bagiku.

Namun cukup banyak pelajaran yang kudapat dari peristiwa itu. Tenang saja, bukannya karena aku dendam karena masih mengingat itu. Aku sudah lama memaafkanmu. Dan bagiku kebersamaan kita di kelas 6 sedikit banyak mengubah persepsiku tentang dirimu.

Sejujurnya aku tak pernah menyangka kita akan menjadi sahabat dekat. Kelas 6, kita sekelas lagi. Tepatnya di kelas 6 Makkah, bersama wali kelas bu Endah dan bu Sasa. Masa yang  sangat menyenangkan bagiku. Kau berperan paling banyak mewarnai masa kelas 6ku. Kita saling bercerita tentang masa depan, tentang cowok yang kita suka, dan begitu banyak momen-momen konyol yang kita lakukan bersama. Kita sama-sama belajar keras menghadapi ujian akhir. Waktu itu kita saling bersaing untuk mendapatkan nilai terbaik. Tentu saja kau yang menang. Aku peringkat dua, dan kau tentu selalu menjadi yang pertama. Tapi ada pelajaran yang aku sempat unggul darimu. Matematika. Waktu itu bahkan kau sempat berjanji akan mentraktirku jika nilai ujian matematikamu lebih tinggi dariku. Hhaha, dengan bodohnya aku malah senang dan berharap nilai ujianku lebih rendah darimu, hanya untuk mendapat traktiran. Dan akhirnya saat nilai matematikaku lebih tinggi darimu, kita berdua malah sama-sama kecewa.

Kau membuatku masuk ke duniamu. Dunia persahabatan yang ceria dan cukup keren untuk dibanggakan. Aku berteman dengan orang-orang yang sebelumnya mungkin tak pernah menganggap keberadaanku. Atau aku saja mungkin yang tak pernah memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk bergaul dengan lingkunganmu yang borju dan supel. Dan ternyata sangat menyenangkan menjalaninya. Dan denganmu aku merasa cukup pantas untuk berteman dengan mereka. Kau tak hanya membangkitkan rasa percaya diriku, namun kau membuatku merasa sangat dihargai. Kau mempercayakan masalah-masalahmu dengan menceritakan padaku. Bahkan kau mempercayakanku sebagai orang pertama yang kau beritahu siapa cowok baru yang kau sukai. Hal yang sederhana namun membuatku merasa aku cukup pantas untuk menjadi sahabatmu.

Dan, kemudian masa perpisahan tiba. Saat wisuda kita berdua sama-sama dipanggil maju ke depan, bersama delapan teman kita lainnya sebagai murid berprestasi. Ah, bangga rasanya dengan akhir masa SD yang seperti itu. Kau menangis saat perpisahan tiba, sedang aku justru malah tersenyum. Sejujurnya aku tak mengerti alasan aku tersenyum. Aku hanya merasa sedikit lucu dengan muka semua orang yang menangis kala itu.

Awal masa SMP, kau selalu menelfonku dan sibuk menceritakan kisah masa SMPmu. Kita bahkan menghabiskan waktu berjam-jam di telfon. Sesuatu yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Kau bercerita tentang teman-teman barumu dan suasana kelasmu dengan gaya khasmu yang ceria. Hingga waktu semakin berjalan, telfonmu mulai menghilang, dan kita semakin larut dalam dunia kita masing-masing. Dan kupikir persahabatan kita usai sampai di situ.

Tahun demi tahun berlalu. Kita kembali ke dunia masing-masing. Kau yang selalu mudah beradaptasi dengan orang lain dengan mudahnya mendapati teman-teman bisa membersamaimu dan yang menyayangimu dengan tulus. Hanya aku yang kaku dan sikap ngotot yang tak juga hilang sedikit tertatih hingga akhirnya bisa menemukan kembali persahabatan sejati di SMA.

Dan yang tak pernah aku sangka, ternyata kita dipertemukan kembali. Dipertemukan di tempat yang tidak pernah kita janjikan. Dalam acara mukhoyam Qur’an di masjid UI, dua tahun lalu. Kau tahu, menyenangkan rasanya dipertemukan denganmu melalui acara yang membuat kita semakin mendekatkan diri padaNYA. Kau yang saat itu baru saja lulus kuliah, dan aku yang masih galau memikirkan skripsi. Seperti biasa, kita kembali larut dalam obrolan panjang. Menceritakan masa-masa kita dulu, dan kemudian juga bercerita tentang mimpi dan harapan kita di masa depan. Dan membersamaimu selalu menyenangkan.

Kemudian kau melanjutkan kuliahmu di Malaysia. Dan aku sibuk dengan skripsi dan dunia mengajarku. Seperti biasa. Dengan sikap cuek yang sama-sama kita miliki, kita jarang bertukar kabar. Setahun kemudian, aku kembali mengajakmu untuk mengikuti mukhoyam Quran di MUI, dan Alhamdulillah, kau libur kuliah saat itu, dan kita kembali dipertemukan kembali. Kita kembali sibuk bercerita. Aku yang saat itu baru lulus kuliah, dan kau yang telah menjalani satu semester kuliah pascasarjana.
       
      Seperti biasa, kita kembali larut dalam obrolan panjang di tengah target menghafal kita. Petemuan kita tak hanya di MUI kala itu. Dilanjutkan dengan acara menginap di rumahmu. Kemudian kita sama-sama mencoba membuat kue kastangel, yang akhirnya terlalu asin.
            
   Kau tahu, aku hanya ingin berterimakasih. Terimakasih untuk kebersamaan kita. Aku menyayangimu karena ALLAH. Semoga kita sama diberi keistiqomahan untuk tetap setia dijalanNYA. Dan semoga ALLAH mengumpulkan kita kembali di surgaNYA kelak, sehingga kita akan tetap bisa menjadi sahabat untuk selamanya sahabat dunia akhirat.

HAPPY BIRTHDAY KHONSA TSABITA, I LOVE YOU COZ ALLAH.
Salam sayang,

Asma Nabila. 

Komentar

Postingan Populer