Ekspresi Cinta Wanita Sederhana
Aku
ingin bercerita. Tentang seorang wanita. Terlahir lebih dari 46 tahun lalu.
Selama masa studinya, SD, SMP, SMA selalu mendapat peringkat terbaik, juara
umum di sekolah. Kuliah di tempat impian kebanyakan orang pada masanya, Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara, atau biasa disebut STAN. Saat kuliah, hidayah
menyapanya. Dia mulai berjilbab dan mengikuti pengajian rutin. Visi hidupnya
berubah. Sebelum itu, kerja di Departemen Keuangan merupakan tujuannya setelah
lulus kuliah. Namun, dia berpikir tentang kontrak yang diembannya apabila dia
memilih kerja. Bepuluh tahun terikat kontrak. Dengan jam kerja yang super
padat. Dia berpikir tentang nasib anaknya kelak. Waktu untuk mendidik anaknya
pasti akan sangat terbatas. Dia memilih untuk tidak mengambil kontrak kerjanya.
Kemudian
dia menikah. Memiliki anak. Delapan anak terlahir dari rahimnya. Semua anaknya
dididiknya sendiri, tanpa bantuan pembantu, apalagi baby sitter. Mendidik
anaknya dengan pondasi dasar keimanan. Menekankan tentang kewajiban sholat. Dia
mengajar anaknya membaca Quran. Mengajari membaca. Mengajar anaknya mencintai
ilmu. Menjauhkan anaknya dari input negative. Disortirnya setiap buku bacaan
yang akan dibaca anaknya. Dibuat aturan tegas tentang pembatasan menonton
televisi di rumahnya. Tidak diizinkan menonton film, sinetron, music, apalagi
gossip. Hanya berita dan kartun anak. Sebatas itu.
Dia
wanita sederhana, pendiam, dan sedikit kaku. Tak pernah berkata sayang, apalagi
mengungkapkan cinta. Juga tak terbiasa dengan pelukan. Tak pernah ribut-ribut
bertanya kabar tentang anaknya. Tak pernah sekalipun keluar kata kasar dari
mulutnya. Tak pernah membentak, apalagi memukul. Tak pernah memaksa anaknya
dengan keinginan duniawi. Cukup mengingatkan anak-anaknya untuk tetap setia di
jalanNya.
Wanita
itu mengajarkan anaknya makna cinta yang sesungguhnya. Dalam diamnya. Dalam
setiap pengorbanan yang dia berikan. Dalam setiap keteladanan yang dia lakukan.
Sang
anak ingat betul, tiga belas tahun tahun lalu, setiap harinya wanita itu
mengantar anak-anaknya pergi ke sekolah dengan sepeda. Meskipun kebanyakan
orangtua lain menggunakan mobil. Wanita itu juga selalu datang ke sekolah
setiap menjelang masa ujian sekolah anaknya, untuk mengambil kartu ujian yang
tertahan akibat penunggakan spp. Wanita itu selalu datang mengambil raport
anaknya satu persatu, tak peduli berapa pun hasil yang diperoleh sang anak. Tak
pernah menuntut anaknya memiliki prestasi yang sama saat dirinya bersekolah
dulu, menjadi juara kelas. Namun selalu menomorsatukan kepentingan anaknya alam
hal apa pun. Dan jika dia memiliki uang, tak sekalipun dipakainya untuk membeli
kebutuhan untuk dirinya sendiri. Selalu, untuk kebutuhan anaknya.
Wanita
itu selalu bangun dini hari. Setelah tahajud dan membaca Quran, wanita itu
membuat kue untuk dijual keesokan harinya. Tak lupa sesekali menenangkan anak
terkecilnya yang baru berumur satu tahun, yang sesekali terbangun. Hari-harinya
tidak hanya dilewatkan untuk mengurus keluarganya saja. Wanita itu tetap aktif berdakwah
dan membina, dalam keadaan apa pun.
Kebanyakan
anaknya sudah besar. Tiga diantaranya telah melanjutkan perguruan tinggi negeri
dengan beasiswa. Dua anaknya yang lain, tinggal di pesantren. Wanita itu tak
pernah memaksa anak-anaknya untuk berdiam di rumah, untuk membantunya.
Dibiarkan semua anaknya memilih jalan dan mimpinya masing-masing, selama tak
bersinggungan dengan aturanNya.
Wanita
itu ibuku. Aku memanggilnya Ummi. Selama 23 tahun aku menjadi anaknya, dia
mengajariku arti nyata tentang ketulusan. Mengajariku bagaimana untuk tetap
tegar. Mengajarkanku akan konsep utuh tentang keimanan dan kesabaran.
Meyakinkanku betapa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahwa Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sungguh akan memberikan takdirNya yang
terbaik. Bahwa akan selalu ada hikmah dibalik ketetapanNya. Sepahit apa pun.
Bahwa seperti apa pun perlakuan orang lain terhadap kita, tugas kita hanyalah
berbuat baik.
Terlahir
sebagai anaknya, memilikinya, membersamainya, menjadi saksi hidupnya, adalah
salah satu nikmat terbesar yang tak pernah berhenti kusyukuri hingga hari ini.
Dan doaku, semoga kebersamanku dengannya tidak hanya di dunia, namun juga di
akhirat kelak. Menjadi keluarga di surgaNya. Amin.
( Bandung, 4 Desember 2015)
Komentar
Posting Komentar