Road to S2 part 2
Jumat, 14 Agustus 2015. Aku berangkat naik
angkot menuju SMAN 3 Depok untuk mengisi mentoring. Di angkot, aku iseng
membuka handphone dan membuka account LPDP. Keterangan: Lulus Seleksi
Administrasi. HAH? Aku refleks berseru kaget. Dan hampir semua orang di angkot
menengok ke arahku. Aku tak peduli dan sibuk senyum-senyum sendiri. Dan aku
segera mengabarkan berita itu ke Ibuku. Ibuku menjawab dengan hamdallah.
Aku harus mengikuti tes wawancara yang
akan dilakukan tanggal 19 Agustus. Sementara, tanggal 16—17 Agustus aku harus
berangkat ke Sukabumi untuk melakukan team bulding di tempatku bekerja. Dan
Jumat malamnya, hpku hilang dicuri orang. Praktis, aku sama sekali tak sempat
menyiapkan apa pun untuk persiapan tes wawancara. Bahkan untuk sekedar
browsing. Lagi-lagi aku pasrah.
Malam sebelum wawancara aku kebingungan
menuju akses tempat wawancara yang diadakan di STAN yang terletak di Bintaro.
Ibuku sempat memarahiku karena minimnya persiapan yang kulakukan. Untungnya
Ayah bersedia mengantarku menuju tempat wawancara. Dan esok paginya kami berangkat
usai sholat shubuh.
Ada yang terlupa. Aku kehilangan ijazah
SMAku. Dan aku tak punya waktu mencarinya. Sebenarnya aku tak tahu kalau
ternyata harus membawa ijazah SMA, karena pemberkasan yang kulakukan tak
memintaku untuk itu. Namun, temanku yang juga sama-sama akan mengikuti seleksi
wwancara mengabarkanku untuk membawa semua ijazah asli dari SD, SMP, hingga
SMA. Ah, aku nekad hanya membawa salinan fotocopy ijazah SMA.
Sebelum berangkat, adikku yang pernah
mengikuti seminar yang diadakan LPDP, menginterogasiku singkat. Kenapa memilih
jurusan itu? Ah, itu pertanyaan mudah. Aku mampu menjawab dengan lancar. Kenapa
memilih melanjutkan di dalam negeri, bukan di luar negeri. “Ingin melanjutkan
hafalan Quran.” Adikku memarahi jawabanku yang terlalu personal. Katanya
jawaban yang kuberikan tak boleh seperti itu. Adikku menjelaskan bahwa jawaban
yang kuberikan harus memiliki manfaat yang bukan sekedar untuk diriku. “Supaya
lebih banyak bisa segera berkontribusi untuk Indonesia.” Itu jawaban yang harus
kujawab katanya. Aku hanya tertawa mendengar perintah adikku.
Perjalanan dari Depok menuju Bintaro, STAN
menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam. Kami tiba sekitar pukul tujuh. Di depan
Student Center STAN, ramai orang dengan pakaian rapi . Ayah mengajakku sarapan
terlebih dahulu. Setelahnya Ayah pulang dan aku ditinggal sendiri.
Glek. Kikuk aku menengok kanan kiri
memperhatikan sekitar. Orang-orang dengan pakaian rapi, muka terlihat serius
dan percaya diri. Beberapa sibuk melirik catatannya untuk mempersiapkan
wawancara. Beberapa asyik mengobrol bersama teman-temannya. Aku mengambil
tempat duduk di pojok dan mulai tilawah. Aku sama sekali tak peduli dengan
persiapanku yang nyaris nol. Sejujurnya yang kutakutkan adalah aku terancam
pulang karena berkas yang kubawa tidak lengkap. Dan lagi-lagi aku sama sekali
tak mau pusing memikirkannya.
Aku mengikuti tes pertama, essay on the
spot. Ada dua pertanyaan yang bisa kupilih untuk menentukan tema penulisan
esaiku. Aku memilih tema tentang nasionalisme. Setelahnya,aku mengikuti sesi
LGD, Leaderless Group Discussion. Kami masuk berkelompok dalam suatu ruangan.
Sudah terdapat dua pengamat yang siap menilai kami. Kami diberi sebuah tema
untuk bahan diskusi. Waktu itu, kami mendapat tema tentang masalah kekerasan
yang terjadi dalam orientasi sekolah. Kami membagi peran dan pekerjaan.
Terdapat akademisi, professional, dan pemerintah. Selain itu juga pembagian
peranan sebagai moderator. Waktu itu aku mendapat peran sebagai moderator.
Tugasku hanyalah menampung setiap pendapat teman kelompokku dan mengambil
kesimpulan dari semua pendapat tersebut.
Sesi selanjutnya dalah wawancara. Namun,
sebelum wawancara dilakukan, terdapat pemeriksaan verifikasi dokumen. Saat
namaku dipanggil, aku maju ke depan dengan membawa dokumen yang kupersiapkan.
Aku sibuk berdoa semoga ijazah SMA yang tidak kubawa tidak akan menjadi
masalah. Alhamdulillah, ternyata hanya pelamar beasiswa luar negeri saja yang
diharuskan membawa ijazah SD, SMP, SMA dan S1. Untuk pelamar beasiswa dalam
negeri cukup diwajibkan membawa ijazah S1. Aku lolos verifikasi dan diizinkan
mengikuti tes wawancara.
Aku masuk dalam sebuah ruangan besar.
Terdapat pembagian 12 kelompok penguji. Aku masuk kelompok 11. Aku berjalan
menuju meja nomer 11. Aku sama sekali tak merasa gugup kali ini. Mungkin,karena
aku tak memiliki ambisi untuk mendapatkan semua ini. Semua murni kulakukan
hanya sekedar menuruti keinginan orangtuaku. Aku tak mengkhawatirkan hasil yang
akan kuterima dari seleksi ini. Aku justru merasa excited dengan pengalaman
pertamaku ikut seleksi wawancara secara formal dengan ratusan orang. Aku tak
berhenti tersenyum sambil berjalan menuju meja tempat wawancara. Di hadapanku
sudah terdapat dua penguji laki-laki dan satu penguji perempuan.
Mereka mempersilahkan aku duduk, dan
mengenalkan diri mereka bertiga. Kemudian, aku disuruh untuk mengenalkan
diri.
“Please, introduce you self.”
“In english, sir?” Refleks aku bertanya.
“Ya, in English”
Gawat. Aku sama sekali tak mempersiapkan
wawancara dalam bahasa Inggris. Kupikir dengan
tujuanku universitas dalam negeri tidak akan membuatku diwawancara dalam bahasa
Inggris. Aku memperkenalkan diriku sekedanya dalam bahasa Inggris. Kemudian aku
dtanya alasanku memilih jurusan yang kuinginkan. Aku pun ditanya tentang
kondisi keluargaku. Juga ditanya tentang sedikit dari bidang keilmuanku.
Selesai. Aku pulang dengan hati
lapang.
Hari pengumuman itu tiba. Dini hari, aku
bangun. Kuraih hp dan kubuka website LPDP. Rupanya belum keluar pengumuman. Ya
sudahlah. Aku santai dan tak mau ambil pusing. Kulanjutkan aktivitas seperti
biasa. Tahajud, shubuh, Quran Time, Briefing pekerjaan, Bekerja. Saat Quran
Time aku sempat termenung sejenak. Begitu takut kehilangan momen-momen ini jika
aku harus melanjutkan studiku. Aku menangis dan berdoa.
“Ya ALLAH, kalau beasiswa itu menjauhkanku
dari Quran, lebih baik aku tidak usah mendapatkannya. Tapi kalau memang itu
baik untukku, keluargaku, dan dakwahku. Semakin mendekatkanku padaMu, maka
berilah ketentuan yang terbaik.”
Bakda dzuhur, setelah menyelesaikan target
tilawah, aku kembali iseng membuka account LPDP. “Selamat Anda Lolos Seleksi
Wawancara”
“Alhamdulillah,,” ujarku perlahan.
Kemudian aku rusuh menyiapkan barang bawaanku. Bersiap pulang untuk mengabarkan
berita itu kepada Ibu. Tiba di rumah, kusampaikan hal itu kepada Ibu. Dan
reaksi Ibu seperti biasa. Kalem dan mengucap hamdallah pelan.
Pasca pengumuman kelolosan, aku tergabung
dalam grup PK 51. Namun karena jalur LPDP yang kuambil adalah jalur afirmasi
aku diwajibkan mengikuti pengayaan bahasa (PB) selama 3 bulan sebelum mengikuti
PK. Sehingga, kelompok PK yang telah terbentuk diatur ulang oleh pihak LPDP.
Hingga saat ini aku masih menunggu jadwal PB yang harus kuikuti.
Selama proses tersebut, aku sempat gelisah
melanjutkan LPDP atau tidak. Sempat ada yang mengatakan haram tentang beasiswa
tersebut. Ya, LPDP menginvestasikan uangnya dalam bentuk obligasi sehingga dana
yang terpakai untuk membiayai beasiswa tersebut berasal dari bunga. Aku sempat
memutuskan tidak melanjutkan beasiswa tersebut. Selama ini aku begitu anti
dengan beasiswa yang berasal dari dana riba. Bahkan sejak kuliah, aku tak
pernah tertarik mengikuti kompetisi yang diadakan oleh bank konvensional.
Khawatir hadiah yang diterima tidak berkah. Namun setelah mencari berbagai
referensi dari ustadz yang paham tentang ekonomi syariah, ternyata hal tersebut
diperbolehkan. Dan yang menarik dari LPDP, kita bisa meminta invoice yang kita
ajukan berasal dari investasi syariah. Sehingga beasiswa yang kita dapatkan
tidak tercampur dengan uang hasil investasi non syariah.
Sebagai tambahan, Mba Diani, salah satu
mentorku mengatakan bahwa LPDP adalah lembaga yang dikelola oleh orang-orang
baik dan banyak orang sholehnya. Mereka pasti juga memikirkan tentang kehalalan
status uang tersebut. Mba Diani bercerita bahwa justru kita harus mengambil
kesempatan tersebut, jika tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak amanah
dan tidak memikirkan ummat. Katanya banyak yang memiliki motivasi yang tidak
baik untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Ada yang mengambil kesempatan itu
untuk bisa jalan-jalan gratis, dan lainnya. Ya, ketika kita dihadapkan
kesempatan untuk memiliki amanah yang tidak semua orang mendapatkan kesempatan
itu, artinya Allah memberimu kesempatan melakukan amal sholeh yang lebih
besar.
Apalagi mimpiku untuk membesarkan IQF,
lembaga tempatku bernaung akan dipermudah jika aku memiliki skill, kompetensi,
dan jaringan yang lebih luas. Ya, aku bermimpi bagaimana Indonesia Quran
Foundation bisa menjadi solusi dari sekian banyak masalah bangsa. Terutama
menyangkut sumber daya manusia, yaitu rakyat. Ingin mengenalkan Quran dan
kembali mengajak masyarakat untuk kembali kepada Quran dalam menapaki jalan
kehidupan. Bismillah…
Komentar
Posting Komentar