Road to S2 part 1
“Umi nyuruh
Asma S2 bukan untuk mengejar dunia. Sama sekali bukan itu. Ketika kamu jadi
expert di keilmuan kamu. Kamu akan bisa berkontribusi lebih untuk dakwah. Kamu
punya kesempatan untuk itu. Kenapa tidak dicoba?”
Ya. Melanjutkan
S2 dengan mengejar beasiswa. Itu mimpiku saat aku masih di bangku kuliah
semester satu. Aku yakin betul dengan mimpiku saat itu. Pasca lulus aku akan
mengejar beasiswa S2 dan memilih karir sebagai dosen. I love my major. Aku suka
belajar. Aku suka dengan atmosfir dunia perkuliahan yang jauh berbeda dengan
dunia pendidikan SMA. Yang membuatku benar-benar mencintai ilmu. Dan rasanya
akan sangat menyenangkan jika aku memilih karirku sebagai dosen. Apalagi aku
senang mengajar. Karena bagiku mengajar adalah proses pembelajaran terbaik.
Terkadang aku
tak habis pikir dengan keengganan beberapa kakak kelas di kampus yang sama
sekali tak memiliki mimpi untuk melanjutkan S2 pasca mereka lulus. Juga banyak
di antara teman-temanku. Ya, sekali lagi aku harus memahami bahwa setiap orang
memiliki kecenderungan berbeda.
Semester tujuh,
mimpi untuk melanjutkan S2 sedikit berkurang. Terdegradasi akan kebencianku
akan menulis skripsi yang menurutku hanya sekedar formalitas. Membuatku
berpikir banyak hal. Tentang kewajiban menulis tesis jika aku melanjutkan
kuliah s2. Duh, membayangkannya saja aku sudah malas duluan. Ya, aku mencintai
menulis. Namun menulis skripsi benar-benar menyiksaku. Membuat imajinasiku mati
dan sekedar menulis tanpa hati. Ditambah dengan karakterku yang sama sekali tak
teliti dan membenci detail. Namun berbagai tuntutan tanggung jawab dan dampak
negative yang akan terjadi membuatku begitu mati-matian menyelesaikan skripsi.
Ya, mimpi untuk
melanjutkan S2 itu semakin layu dan nyaris mati. Apalagi mimpi itu sudah kalah
jauh dengan mimpi diam-diam yang kubangun sejak sebelum kuliah. Mimpi menjadi
penghafal Quran. Mimpi bergabung dalam asrama Quran. Dan Alhamdulillah mimpi
itu terwujud, saat ini aku menjadi bagian dari Indonesia Quran Foundation.
Awalnya aku berniat fokus menghafal Quran dalam waktu setahun. Kemudian
setelahnya aku akan fokus mencari beasiswa untuk melanjutkan studiku. Menjawab
permintaan orangtuaku.
Aku memilih
fokus menghafal dan mencari pekerjaan part time. Hari-hari berlalu. Dan
ternyata aku sangat mencintai waktu kebersamaanku dengan Quran. Walaupun
kemampuan menghafalku hancur-hancuran, kemampuan tajwidku masih berantakan, aku
tetap tak ingin lepas dari fokusku bersama Quran. Dan mimpi untuk melanjutkan
S2 itu hilang dan mati total. Terlalu
banyak yang kukhawatirkan. Aku terlalu takut waktu kebersamaanku dengan Quran akan berkurang. Aku terlalu
takut fokus pikiranku terbagi menjadi banyak hal. Padahal kemampuan menghafal
Quran ku masih kacau. Bagaimana aku bisa membagi dengan ilmu lainnya?
Namun aku tahu
betul orangtuaku masih berharap aku melanjutkan studiku. Ya, dengan nilai dan
prestasi yang kumiliki saat duduk di bangku kuliah, kesempatan untuk mendapat
beasiswa itu terbuka lebar. Aku tahu mereka menyuruhku untuk melanjutkan studi
bukan untuk mereka, tapi demi kebaikanku. Kata Ayah, zaman yang akan kuhadapi akan
jauh berbeda dengan zamannya. Memiliki gelar s2 salah satu cara dalam
menyiapkan amunisi untuk menghadapi persaingan ke depannya.
Aku tak setuju
dengan pendapat ayah. Menurutku skill dan ketrampilan khusus lah yang membuat
kita mampu bersaing. Apalagi, cita-citaku menjadi seorang entrepreneur.
Sehingga pengalaman jauh lebih dibutuhkan ketimbang kembali mengenyam bangku
akademik.
Ibu lain lagi.
Alasan Ibu menyuruhku melanjutkan S2 yang mungkin membuatku mencoba berfikir
ulang tentang kenggananku melanjutkan studi.
“Umi nyuruh Asma
S2 bukan untuk mengejar dunia. Sama sekali bukan itu. Ketika kamu jadi expert
di keilmuan kamu. Kamu akan bisa berkontribusi lebih untuk dakwah. Kamu punya
kesempatan untuk itu. Kenapa tidak dicoba?”
Dan bakda Idul
Fitri kemarin, aku iseng membuka website LPDP dan melihat jadwal seleksi. Ternyata aku masih punya waktu lima hari
untuk mempersiapkan berkas administrasi untuk seleksi. Aku mulai rusuh
menyiapkan berbagai berkas yang kubutuhkan. Bolak-balik ke kampus setelah
hampir setahun aku tak menginjakkan kaki di sana, tes medical check up yang
baru pertama kali kulakukan dengan biaya yang membuat hutangku semakin
membengkak, bolak balik mengurus surat pengantar ke rt, rw, dan kelurahan,
mengejar atasanku untuk meminta surat izin dan rekomendasi. Dan tepat hari
terakhir seleksi berkas, Alhamdulillah aku berhasil mengumpulkan semua
persyaratan.
Setelahnya, aku
pasrah. Aku sama sekali tak mau memikirkan apa pun tentang beasiswa tersebut.
Di sisi lain, aku begitu khawatir dengan kesibukan yang akan menantiku kelak
jika aku mendapat beasiswa tersebut.Aku terlalu takut meninggalkan comfort zone
yang kumiliki. Kebebasan waktu dan fleksibilitas waktu yang kumiliki. Namun di
sisi lain, aku sadar betul aku memiliki kewajiban finansial yang harus
kutunaikan bukan sekedar untuk diriku. Dan mendapat beasiswa tersebut
sepertinya akan menjadi solusi dari masalah finansial yang kumiliki tanpa aku
harus terjun bekerja full mencari uang.
Namun doaku tetap sama, aku berharap apa pun yang Allah beri untukku,
aku cuma ingin diberi keistiqomahan untuk tetap bisa membersamai Quran dimana
pun posisiku kelak.
Komentar
Posting Komentar