Membina yuk,Bismillah..
“Asma, kalo sudah
lulus, bantu isi mentoring ya”
“Aku? Nggak mau ah,
kak! Aku kan masih ancur! Masih bandel! Nggak mungkin aku bisa jadi mentor!
Nanti kaburo maqtan lagi”
“Lho, nggak
apa-apa, kan sama-sama memperbaiki diri”
“Pokoknya nggak mau
kak!”
Itu percakapan lima
tahun lalu, tepatnya beberapa bulan menjelang kelulusan SMA. Kak Dwi, mentorku
yang lembut dan selalu punya kesabaran luar biasa gigih mengajakku untuk
menjadi mentor. Dibalas dengan
kegigihanku untuk terus menolak permintaannya. Sangat tak mungkin untukku.
Betapa tidak, mentor atau murobbi di mataku adalah orang yang ideal yang harus mendekati
sempurna. Apalagi dengan sosok Kak Dwi
yang selama ini nyaris tak kutemukan kelemahan ataupun kesalahannya. Kak
Dwi yang lembut, namun tetap tegas menjalankan prinsipnya. Kak Dwi yang pintar,
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisku. Kak Dwi yang cantik. Kak Dwi
yang rapi. Aaah, mana mungkin aku sanggup menjadi mentor jika harus seperti
itu. Meski aku liqo sejak kelas satu SMP,
sama sekali tak ada tanda-tanda kesholihan dalam diriku. Astaghfirullah...
Kemudian aku
mengenal kak Maya. Murobbi pengganti kak Dwi yang tak kalah sempurna menurutku.
Agak berbeda dengan kak Dwi yang cenderung kalem, kak Maya lebih ceria namun
tak kalah cantik. Dan kak Maya sangat cerdas. Kak Maya yang selalu membiarkanku
tumbuh dengan caraku sendiri. Kak Maya yang nggak pernah menjudge seperti apa
pun aku. Kak Maya yang selalu sabar menghadapi sikapku yang keras dan cuek. Ah,
betapa aku sayang kak Maya.
Dan beberapa contoh
murobbiku lain yang tak kalah hebat. Dengan sosok mereka semua yang jauh dari
kepribadianku.
Melihat mereka,
dengan sikap khas mereka masing-masing membuatku banyak berfikir. Bahwa
ternyata menjadi murobbi tak harus bersikap lemah lembut, namun tetap bisa
menjadi diri sendiri dengan nilai-nilai kebaikan
yang mendominasi tentunya.
Dan kemudian aku
tercebur dalam dunia mereka. Menjadi seorang mentor. Adik-adik binaan dengan
berbagai macam karakter khas mereka.
Dari mulai cerita mereka tentang impian, masalah mereka, kehidupan
sekolah, dunia perkuliahan, dan
Dan membuatku jatuh
cinta akan dunia ini. Senang rasanya sama-sama bisa belajar untuk sama-sama
memperbaiki diri, mengenal ALLAH, mengenal islam, mengenal masing-masing dari
diri mereka pribadi. Dan aku memilih
untuk menempatkan agenda ini dalam salah satu prioritas terpenting dalam
hidupku.
Namun memang ada
masa dimana begitu banyak godaan-godaan kesibukan lain yang terkadang membuatku
nyaris menomorduakan agenda yang
satu ini. Dan mungkin akan selalu ada godaan-godaan kesibukan lain jika aku tak
ngotot menempatkan ini dalam prioritas kegiatanku.
Membina bukan harus
berarti lebih baik dari orang kebanyakan. Tak punya salah dan seolah menjadi
malaikat. Tak seperti itu. Setidaknya ini salah satu wadah, untuk kemudian
memiliki azzam untuk mau berubah menjadi lebih baik lagi. Tak ada yang salah
ketika kita belum berhasil menjadi baik. Yang jadi masalah adalah ketika kita
berhenti untuk mau merubah diri menjadi lebih baik.
Membina bukan
berarti harus jadi orang yang sempurna dan lebih baik dari yang lainnya. Bukan
seperti itu. Ini masalah komitmen diri. Komitmen untuk tetap mau terus belajar
dan memperbaiki diri, komitmen untuk peduli dan ikut memperbaiki orang lain,
komitmen untuk mau istiqomah meluangkan waktu secara rutin.
Masalah yang ada
untuk memulai adalah kita sering merasa jauh dari pantas untuk membina orang
lain. Itu bukan perasaan yang salah, artinya kita masih punya kesadaran diri
bahwa diri kita jauh dari sempurna, namun bukan kemudian itu menjadi pembenaran
untuk tidak membina. Biarkan ALLAH menjaga kita dan memperbaiki diri kita
perlahan sejalan dengan aktivitas membina. Jangan sampai perasaan tak pantas
menghalangi kita untuk mengambil peran dalam bagian dakwah ini. Jangan sampai
perasaan tak pantas membuat kita malas melakukan perbaikan diri dan penjagaan
diri.
Membina yuuk!
Bismillah,,
Komentar
Posting Komentar