tentang perubahan

Sebagai orang yang memiliki tingkat agreeableness rendah, terutama pada trend, aku terkadang punya keputusan yang sering tidak masuk akal dan ketinggalan zaman. Waktu itu zamannya smartphone. Ayah, Ibu, dan kedua adikku yang duduk di bangku kuliah sudah memiliki smartphone. Aku berada di akhir semester terakhir masa kuliah. Seluruh temanku juga memiliki smartphone. Hanya aku yang setia dengan hp Samsung Champ yang bukan merupakan smartphone. Sebenernya bisa saja aku mengalokasikan uang hasil mengajarku untuk membeli smartphone. Atau protes kepada orangtuaku yang memilih memberikan smartphone justru kepada kedua adikku. Tidak. Dalam pikiran naifku, terima kasih, aku tidak mau memiliki ketergantungan pada teknologi, karena yang kulihat saat itu orang yang memiliki smartphone seolah memiliki dunia sendiri. Dan ketika pada akhirnya tanteku memberiku hp smartphone untukku, aku baru menyadari efek multiplier dari sebuah smartphone yang memudahkanku dalam berbagai hal, terutama dalam mengakses segala informasi. Dan mungkin jika aku bertahan tidak memiliki hp, aku tidak akan memiliki whatsapp yang memberiku jalan atas informasi pendaftaran IQF. 

Ketika zaman ojek online sedang ramai dan hits, aku bertahan tidak menggunakan ojek online dengan alasan tidak ingin dibonceng non mahram. Memilih bertahan menggunakan angkutan umum.Hingga suatu keadaan yang memaksaku menggunakan ojek online. Dan kemudian ketika aku menggunakan angkutan umum kembali, aku dihadapkan pada kondisi terdempet di antara dua penumpang pria. Rasanya ada yang salah. Lebih baik aku menggunakan ojek online, dimana aku bisa mengatur posisi dudukku sehingga tidak harus terpaksa terdempet. Dan ketika kucari fikih dari hukum menggunakan ojek online, tenyata diperbolehkan jika memang tidak ada alternatif kendaraan pribadi, berbeda dengan hukum ketika kita membonceng laki-laki non mahram yang kita kenal karena menimbulkan fitnah. 

Dan aku sudah bertahun-tahun nyaman tidak menggunakan social media. Terutama facebook. Waktu itu zaman akhir kelas 3 SMP, saat mulai ramai facebook. Aku bersikeras tidak membuat akun facebook. Alasannya sederhana. Yang membuat adalah orang Israel. Dan aku tidak mau menggunakan produk Israel. Zaman dimana rasanya begitu mudah untuk bersikap idealis. Kemudian cukup tahu diri dengan kemampuanku dalam menekan ego untuk terlihat eksis dan hebat melalui pamer foto dan berbagai aktivitas. Yang kemudian membuatku bertahan tak memiliki facebook hingga bertahun-tahun kemudian. Dan hingga dalam keadaan dimana aku terpaksa membuatnya untuk keperluan pekerjaan. Lagipula rasanya tidak ada aturan fikih berkaitan dengan hal ini selama kita tak mensalahgunakannya. 

Well, sampai kapan pun perubahan adalah suatu keniscayaan. Sekali pun rasanya ada rasa bersalah ketika harus terpaksa berubah untuk suatu hal yang kita yakini sebelumnya. Ada satu yang harus menjadi prinsip. Untuk kemudian mengukur seberapa fleksibel sikap kita dalam mentolerir perubahan. Dalam mengikuti perkembangan zaman yang rasanya tak ada habisnya. Untuk tetap kritis terhadap apa yang kita yakini. Bahwa yang menjadi prinsip adalah "bahwa Allah yang utama". Untuk tetap mentaati perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Untuk kemudian bersikap seimbang dan tidak berlebihan. Terutama untuk fleksibel selama tidak melanggar aturanNya, jika bersifat fleksibel akan menghadirkan kebermanfaatan yang lebih banyak. Untuk tidak main-main dalam menjauhi laranganNya, dan tidak melakukan excuse untuk aturan tegasNya. Dan semoga setiap perubahan yang dilakukan, perubahan yang memiliki alasan kenapa harus dilakukan, perubahan yang membuatku mampu bermetmorfosis mejadi lebih baik lagi, perubahan yang membuka mataku bahwa dunia tak sehitamputih itu, yang membuatku untuk bisa bijak dalam menghadapi persoalan dan menentukan setiap pilihan. Dan semoga setiap perubahan yang kulakukan semakin mendekatkanku padaNya untuk sampai di surgaNya.

Komentar

Postingan Populer